Bertahan di tengah tradisi bullying meski terkena beban mental, menjadi pilihan saya. Bagaimana tidak, saya sebagai residen di salah satu perguruan tinggi negeri Indonesia, merasa proses untuk masuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) bukan hal mudah.
Saya tidak mau perjuangannya harus terhenti sia-sia di tengah jalan. Seperti banyak residen lain, saat mulai bergabung di PPDS, saya sudah dibekali dengan ‘buku sakti’.
Saya bahkan tidak menyadari pedoman tersebut dominan berisi tindakan bullying secara tidak langsung, terlebih banyak kebutuhan di luar proses pendidikan. Senior tidak segan merinci apa saja kebutuhan pribadi mereka, demikian cerita saya.
“Ada banyak tindakan bully yang saya alami, antar jemput konsulen setiap ada acara, termasuk menjadi “petugas parkir” setiap hari, di mana kami harus standby di lobby RS dan memarkirkan mobil konsulen, serta membawakan kembali ke lobby saat pulang,” ungkap saya kepada detikcom Sabtu (17/8/2024)
“Ada juga yang minta diisikan bensin dulu, walaupun setelah itu uangnya diganti,” sebut saya.
Seluruh PPDS bahkan disebut saya wajib membawa mobil untuk siap sedia mengantar jemput senior dalam kondisi apapun.
“Di dalam mobil juga harus selalu sedia minuman, tissue kering & basah, hand sanitizer, dan lain-lain,” lanjut saya.
Belum lagi perkara kebutuhan makan, junior mau tidak mau selalu menyediakan menu makanan yang diinginkan senior. Beberapa kali, uang yang keluar untuk membelikan mereka makanan pun tak diganti.
“Kami tidak diperkenankan menagih, jadi menunggu saat senior atau konsulen menanyakan untuk diganti kalau mereka ingat.”
Simak Video “Pengakuan Dokter soal Sederet Aksi Senioritas saat Pendidikan“
[Gambas:Video 20detik]